Rumah
Sakit “Tua” peninggalan Belanda ini dulu bernama Links de Kliniek Van de Sabang (1919), setelah merdeka berganti nama menjadi
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Sabang , kelas C. Sebagai bangunan “Cagar Budaya”, tentu saja memiliki struktur bangunan khas Belanda berupa ruangan yang besar dengan atap
yang tinggi , pintu serta jendela lebar tanpa kaca, koridor terbuka, sistem pembuangan limbah yang memadai sehingga tampak sejuk dan nyaman, tentu saja terlepas dari tingkat
pelayanannya. RSUD ini memiliki luas area 15.670 m2, luas bangunan 12.282.5 m2, serta jumlah
karyawan hampir mencapai 300 orang. Lokasi RS berjarak sekitar 200 m dari bibir pantai dengan kemiringan
mencapai 350 serta berada
pada ketinggian 25-30 m dari permukaan
laut.
Kota Sabang merupakan pulau vulkanik dan bagian dari sesar Sumatera, artinya sering
ikut menikmati gempa bumi . Kota ini
juga terkena dampak tsunami pada tahun
2004. Kondisi cuaca yang cenderung berangin kuat dan badai, menambah daftar
bencana yang mungkin akan diderita. Untuk itu penulis mencoba sedikit melakukan
analisis gedung RSUD
Kota Sabang dari sudut pandang Ilmu Kebencanaan
secara sederhana dan deskriptif.
FASILITAS FISIK
Untuk urusan gedung walaupun sudah tua tapi tetap kokoh
dengan banyak tiang, terbukti sampai
sekarang belum tampak retak, hanya beberapa bagian berlumut termakan usia. Model
koridor terbuka memungkinkan proses evakuasi saat terjadi bencana. Lokasi RS berbukit atau miring terasa sangat mengganggu, maksudnya ada bangunan
yang berada di atas dan di bawah, atau ada koridor yang naik dan turun. Bayangkan
saja bila harus mendorong pasien terutama dari IGD yang letaknya lebih tinggi, ke
bagian penunjang seperti radiologi ,
laboratorium, serta ruang perawatan pada
bangunan lebih rendah, terkadang harus
meluncur seperti pemain ski, dengan tangan dan kaki perawat sebagai remnya. Belum lagi bila musim hujan, maka akan terjadi
bencana lokal yaitu pasien bahkan para karyawan
terjatuh di koridor yang miring
tersebut. Sangat tragis.
Penyediaan tabung pemadam kebakaran dirasa sudah
cukup memadai, walaupun belum ada sensor kebakaran. Ada dua gedung baru berlantai
dua (termasuk IGD) memiliki dua tangga yang proporsional, kecuali gedung
keperawatan yang hanya memiliki satu tangga.
KETERSEDIAAN INFORMASI
Idealnya suatu RS tentu harus ada pelatihan
mengenai bencana ataupun kegawat daruratan, misalnya pelatihan tentang kebakaran, drill
tsunami, proses evakuasi korban dan sebagainya. Dari 5
orang staf medis dan paramedis yang ditanya
ternyata hanya sebagian kecil yang telah mendapatkannya secara khusus, sebagian lagi
mungkin mendapatkannya dibangku kuliah, bahkan banyak yang belum mengetahui bagaimana menggunakan tabung pemadam kebakaran . Saat ini tidak tampak informasi mengenai jalur evakuasi.
PRILAKU KARYAWAN DAN MASYARAKAT
Secara umum masyarakat kita tidak
begitu paham dengan budaya antri, ini terlihat jelas saat parkir kendaraan. Tempat
parkir di depan RS memang lumayan luas tapi semrawut.
Yang sulit adalah masalah parkir di depan IGD melalui jalur samping yang sempit
dengan area parkir yang sempit pula. Sering terjadi kendaraan menutupi jalur
masuk sehingga mobil ambulans sulit
untuk keluar masuk. Untuk itu sangat diharapkan pengertian masyarakat,
manajemen, serta pemerintah daerah untuk
memperbaiki kondisi di atas.
Terima
kasih, Wassalam
*NB:
hasil analisis ini sangat lemah, kritik
dan saran akan sangat membantu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar